Al-Dzahabi: Dikotomi Tafsir yang Tidak Relevan

FOSGAMA Mesir

Oleh: Ilman Fariz

Fosgama MesirSecara umum, kitab al-Tafsir wal Mufassirun karya al-Dzahabi dianggap sebagai kitab yang paling masyhur dalam disiplin Ilmu Tafsir. Para ulama, terutama kalangan Sunni, di berbagai belahan dunia menganggapnya sebagai rujukan utama. Baik di tingkat madrasah maupun di perguruan tinggi kitab karangan al-Dzahabi tersebut secara luas dipelajari dan diajarkan.

Di tengah kemasyhurannya, beberapa ulama telah mengkritik pandangan-pandangan al-Dzahabi. Muhammad Hadi Ma’rifah, ulama kenamaan asal Irak mengomentari al-Dzahabi secara tajam. Dia menyatakan bahwa al-Dzahabi melakukan simplikasi dalam mengkaji literatur tafsir dari zaman ke zaman hingga membuatnya luput dalam membedakan beberapa corak tafsir. Padahal literatur tafsir dalam dunia Islam sangat luas tak sesederhana apa yang direkam oleh al-Dzahabi.

Terlepas dari kritikan di atas, al-Dzahabi memang sering mensimplifikasi pembahasan. Sehingga jika ditinjau lebih dalam, penulis merasa terdapat beberapa pandangannya yang patut untuk diformulasikan ulang. Salah satunya klasifikasi tafsir. Al-Dzahabi dalam mengklasifikasi tafsir, membagi menjadi dua; tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.

Tafsir bil ma’tsur merupakan upaya untuk memahami al-Qur’an dengan merujuk kapada nas-nas agama. Dalam hal ini al-Dzahabi menggeneralisir sumber rujukan tafsir bil ma’tsur. Dia menyatakan bahwa tafsir bil ma’tsur mencakup tafsir dengan merujuk kepada al-Qur’an, Sunah, perkataan para sahabat dan tabiin. Konsekuensi generalisasi seperti ini ialah kewajiban untuk menyelaraskan pemahaman umat dengan pemahaman para sahabat dan tabiin, padahal boleh jadi konteks yang dihadapai oleh para sahabat maupun tabiin berbeda dengan konteks yang terjadi di kehidupan umat Islam belakangan.

Sedangkan terkait tafsir bil ra’yi, al-Dzahabi membaginya menjadi dua kategori, bil ra’yi al-sahih dan bil ra’yi al-madzmum. Kedua kategori tersebut lahir sebagai konsekuensi logis dari dialektika para ulama yang terbagi menjadi dua. Pertama, ulama yang memperbolehkan tafsir bil ra’yi. Kedua, ulama yang melarang dan mengharamkannya secara mutlak. Di akhir permbahasan, al-Dzahabi berkomentar, para ulama sebetulnya tidak berseberangan terkait legalitas tafsir bil ra’yi, tetapi hanya terjebak dalam perbedaan secara lafaz (ikhtilaf lafzi).

Klasifikasi tafsir ala al-Dzahabi sangat masyhur di kalangan umat Islam. Sayangnya, jika ditelusuri lebih lanjut, maka kita akan menemukan pengklasifikasian tersebut belum valid dan menyimpan banyak kekurangan. Di antaranya ialah, dikotomi tafsir dengan model ini tidak bisa mengakomodir tafsir-tafsir yang tebal sehingga membingungkan pengklasifikasian sebagai tafsir bil ma’tsur atau bil ra’yi.

Sebut saja al-Tahrir wa al-Tanwir karya Thahir bin ‘Asyur, tafsir ini dikenal sebagai salah satu tafsir kontemporer yang memuat pikiran-pikiran progresif Ibn ‘Asyur terutama dalam konteks sosial dan pendidikan. Kendati demikian, Ibn ‘Asyur dalam menafsirkan sebagian ayat al-Qur’an juga tidak bisa terlepas dari nas-nas al-Qur’an maupun Sunah juga perkataan para sahabat Nabi SAW. Jika dikotomi tafsir ala al-Dzahabi digunakan sebagai pisau analisis terhadap tafsir ini, maka akan menyulitkan untuk mengklasifikasi tafsir tersebut. Apakah ia termasuk kategori bil ma’tsur atau bil ra’yi atau justru keduanya?

Kekurangan selanjutnya ialah bahwa dikotomi seperti ini tidak memiliki nilai analisis yang tajam. Sering kali ia hanya digunakan untuk menjustifikasi kitab tafsir antara bil ma’tsur yang bisa digunakan dan pendapat pribadi atau bil ra’yi yang kemudian ditinggalkan. Hal ini tidak mengherankan, sebab dari awal dikotomi tafsir al-Dzahabi didesain untuk melegitimasi tafsiran kelompok sunni dan mendeligitimasi tafsiran kelompok yang lain serta mengubur tafsiran yang tak sesuai kaidah bil ma’tsur, misalnya kitab al-Tafsir al-Bayani karya Bintu Syati’.

Selain itu, dikotomi al-Dzahabi juga tidak memiliki batasan-batasan yang valid. Sebab tafsir bil ma’tsur sekalipun, tetap bersandar pada ijtihad seorang mufasir untuk memilah dan memilih dalil-dalil yang relevan digunakan. Bagaimanapun seorang mufasir pasti akan memberikan warna personal terhadap tafsiran yang dia lakukan. Hal ini dikonfirmasi oleh pembaharu kenamaan Mesir, Amin al-Khulie. Menurutnya, baik bil-ma’tsur maupun bil ra’yi, produk tafsir tak bisa dilepaskan dari perspektif personal seorang mufasir. Karena itu, akan sangat mudah menemukan perbedaan dari tafsir at-Thabari dan tafsir Ibn Katsir. Meskipun —menurut al-Dzahabi— keduanya tafsir’ bil ma’tsur , tetapi produk tafsirnya tidak bisa terlepas dari corak masing-masing dalam berijtihad.

Tak berlebihan jika menyatakan, dikotomisasi al-Dzahabi tidak begitu valid dan relevan untuk mengklasifikasi kitab-kitab tafsir. Karenanya, perlu menawarkan kategorisasi alternatif untuk mengklasifikasi kitab-kitab tafsir dari zaman ke zaman. Penulis merasa kategorisasi ala Walid Saleh perlu untuk dipertimbangkan, alih-alih mensakralisasi dikotomi al-Dzahabi.

Walid Saleh dalam mengklasfikasi kitab-kitab tafsir menyandarkan pada konten yang dikandung suatu tafsir, bukan terhadap sumber penafsiran sebagaimana dikotomi al-Dzahabi. Menurut Walid Saleh, secara general kitab tafsir bisa diklasifikasi menjadi tiga kategori; tafsir ensiklopedik, tafsir madrasah dan tasfir model hasyiyah. Dua kategori pertama ialah kategori primer. Sedangkan yang terakhir sekunder sebab ia lahir sebagai respon untuk menjelaskan produk tafsir seorang mufasir.

Tafsir ensiklopedik merupakan tafsir yang memuat beragam penafsiran dari al-Qur’an. Manurut Walid Saleh suatu kitab tafsir bisa dikatakan tafsir ensiklopedik jika bisa mengakomodir ragam makna yang terkandung dalam ayat tertentu. Karenanya, tafsir ensiklopedik biasanya memiliki konten yang sangat banyak dan diterbitkan dalam bentuk berjilid-jilid.

Adapun tafsir madrasah biasanya memuat sebagian dari ragam makna yang dikandung suatu ayat. Tafsir ini memiliki kecenderungan meringkas, menjelaskan, dan menekankan multi-penafsiran yang disebutkan dalam tafsir ensiklopedik. Selanjutnya ialah tafsir model hasyiyah. Tafsir tersebut merupakan komentar untuk menjelaskan pandangan mufasir yang belum cukup terang. Namun, hingga saat ini kajian terhadap hasyiyah tafsir belum terlalu digemari. Padahal ia memiliki peran vital dalam dunia tafsir al-Qur’an.

Kategori yang disampaikan Walid Saleh tersebut bisa menjawab dikotomi al-Dzahabi. Dengan menghindari justifikasi sepihak, kategori tersebut mampu memformulasikan klasifikasi yang netral terhadap kitab-kitab tafsir dari berbagai generasi. Di sisi lain, klasifikasi yang netral sangat dibutuhkan untuk menghidupkan kembali kajian tafsir progresif; yang tak terjebak dalam doktrin tertentu juga tak terbatas pada sekat-sekat mazhab tertentu.

Baca Juga

Tinggalkan komentar