Menghidupkan Pola Pikir Manusiawi melalui Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana

Taufiqur Rahman

Menghidupkan Pola Pikir Manusiawi melalui Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana

FOSGAMA MESIRRasa-rasanya, telah usai sudah polemik seputar apa yang lebih unggul dan cocok diterapkan antara asas legalitas dan asas retroaktif dalam hukum pidana.

Kedua asas yang saling kontradiktif lagi memiliki hubungan banding terbalik itu telah menemukan jalan kompromi pada akhirnya.

Namun disayangkan, kompromi tersebut tampak tidak adil lantaran ia terkesan mengesampingkan asas retroaktif dengan mempersempit penerapannya.

Padahal, dengan menganalisis asas tersebut melalui pendekatan rasional Muktazilah dan moral Immanuel Kant, kita dapat menghidupkan pola pikir manusiawi dalam diri sendiri.

Kontekstualisasi pemikiran Muktazilah dan Kant pada asas retroaktif mengajarkan kita bagaimana cara menjadi manusia sesungguhnya.

Pemahaman Asas Retroaktif

Ada baiknya kita mengenal asas legalitas sebelum asas retroaktif mengingat bahwa asas yang pertama tersebut lahir terlebih dahulu daripada yang kedua.

Dalam bahasa latin, asas legalitas berbunyi “Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali” yang berarti “Tiada delik dan tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.

Dengan ini, asas legalitas bersifat futuristis dan berorientasi pada perlindungan pelaku. Sehingga, sebuah tindak pidana yang dilakukan sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya dianggap tidak ada karena pelakunya terbebas dari hukuman.

Perundang-undangan hukum pidana Indonesia, Mesir dan Islam turut menganut asas legalitas ini. Dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP telah disebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Pun tidak jauh dari maksud tersebut isi dalam perundang-undangan hukum pidana Mesir: Putusan Pengadilan Kasasi Mesir pada November 1966 serta Pasal 66 dan 187 dalam Konstitusi Permanen Mesir tahun 1971.

Adapun penegasan asas legalitas dalam hukum Islam, kita tentu pernah mendengar firman Allah yang berartikan “… tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul”.

Berbeda 180 derajat dengan asas legalitas, asas retroaktif berlaku secara surut ke belakang (masa lampau).

Asas ini memberlakukan peraturan perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya. Jadi, bila muncul tindak pidana yang berbahaya secara meluas sedangkan undang- undang yang mengaturnya belum ada, maka badan pemerintah dapat membuat peraturan yang bersifat surut untuk menindak pidana tersebut.

Karena itu, perlindungan hak-hak korban dan menjaga stabilitas keamanan umum merupakan orientasi asas retroaktif.

Di berbagai perundang-undangan hukum pidana—hukum positif ataupun hukum Islam, penerapan asas retroaktif ini dijadikan sebagai bentuk pengecualian dari penerapan asas legalitas.

Bahkan, hukum Mesir tidak menganut sama sekali asas retroaktif yang mutlak. Adapun dalam hukum pidana Indonesia, asas retroaktif hanya berlaku pada dua tindak pidana: pelanggaran HAM berat dan tindak pidana terorisme.

Pelanggaran HAM berat diatur dalam Pasal 43 Ayat (1) Undang- Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”.

Undang-undang ini diterbitkan guna menyelidiki dan mengadili pelanggaran HAM berat di Timor Timur pasca-jajak pendapat yang terjadi pada Agustus 1999.

Berkenaan dengan pengaturan tindak pidana terorisme yang mengandung asas retroaktif, muncul Perpu No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Perpu ini ditetapkan, diundangkan dan berlaku pada 18 Oktober 2002 untuk menindak peristiwa Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002.

Hanya itulah dua penerapan asas retroaktif sebagai bentuk pengecualian dari asas legalitas yang ada di Indonesia.

Dalam hukum pidana Islam, penerapan asas retroaktif mutlak hanya terdapat dalam dua peristiwa: Hādits al-Ifki dan Hirābah.

Pendapat yang rajih mengatakan bahwa nas qadzf turun setelah terjadi peristiwa Hādits al-Ifki dimana Rasulullah SAW memberi sanksi had yang tercantum dalam nas tersebut pada pelaku qadzf. Dengan pendapat ini, nas tersebut dapat berlaku secara surut.

Demikian pula dengan peristiwa Hirābah. Mayoritas ulama merajihkan pendapat yang mengatakan bahwa QS. Al-Māidah:33 turun untuk memberikan sanksi pada orang-orang Urainah yang sebelumnya telah membuat kerusakan di muka bumi. Dengan demikian, jelas bahwa nas Hirābah diberlakukan secara surut.

Karena ini lah, ternyata hukum Islam juga mengenal dan bahkan pernah menerapkan asas retroaktif. Abdul Qadir ‘Audah menyebut bahwa meskipun asas umum dalam syariat adalah tidak berlaku-surutnya tasyrī’ (baca: undang-undang) pidana, tetapi terdapat pengecualian dalam asas umum ini.

Salah satu pengecualiannya adalah pembolehan terhadap undang-undang pidana untuk berlaku surut dalam hal kejahatan serius yang memengaruhi keamanan publik dan ketertiban umum.

Dari sini, kita bisa berkesimpulan bahwa terdapat satu orientasi lagi dalam asas retroaktif selain perlindungan hak korban.

Asas tersebut mengutamakan keadilan masyarakat daripada kepastian hukum. Hal demikian ini seperti apa yang dikemukakan oleh seorang ahli hukum Prancis,

H. Donnedieu de Vabres, dalam salah satu persidangan di Pengadilan Nuremberg “Pemidanaan dengan melanggar asas legalitas memang tidak adil.

Namun, tidak menghukum orang yang bersalah karena kejahatan yang dilakukannya jauh lebih tidak adil”.

Asas Retroaktif dan Teori Standar Akal Muktazilah

Sebagai kelompok yang mengagungkan akal, Muktazilah beranggapan bahwa sebelum pengutusan rasul dan sampainya dakwah, hukum Allah dapat diketahui melalui akal.

Mereka menjadikan akal sebagai standar untuk mengetahui baik dan buruknya sebuah tindakan. Kebaikan tercermin dalam sesuatu yang dianggap baik oleh akal dan keburukan adalah hal yang dianggap buruk oleh akal.

Karena itu, hukum Allah yang berkaitan dengan tindakan mukalaf tergantung pada apa yang dijangkau oleh akal.

Siapa saja yang menaati akalnya, ia akan diganjar. Begitu pun dia yang membangkang akalnya akan dikenai sanksi walaupun rasul belum diutus atau belum sampai padanya dakwah.

Dari pandangan Muktazilah di atas, dapat diketahui bahwa seseorang yang menaati kehendak akalnya merupakan tanda bahwa dia bermoral baik.

Tanpa menunggu adanya undang-undang atau nas yang mengatur tindakannya, ia berkelakuan baik dengan tidak melakukan tindak pidana yang jelas-jelas menyalahi akal sehatnya.

Ia melakukan kewajiban demi kewajiban itu sendiri, bukan karena munculnya sebuah peraturan. Bilamana seseorang telah bermoral dengan baik, ia akan diganjar dengan dilekatkan padanya karakter manusia sempurna.

Bagi pelaku qadzf dan orang-orang Urainah yang disebutkan di muka, jelas tidak akan terdampak pada mereka asas retroaktif bila mereka memaksimalkan fungsi akal untuk kemudian mereka taati.

Kendati pada saat mereka beraksi belum ada aturan mengenai tindakan mereka, tetapi dengan sangat jelas akal seorang manusia dari zaman dahulu bahkan hingga sekarang mengutuk perbuatan keji mereka itu.

Bila ingin mengikuti pola pikir Muktazilah, mereka patut berdosa dan dihukum oleh Allah dan Rasul-nya karena hukum Allah menjangkau sejauh mana akal mampu menalar.

Teori standar akal milik Muktazilah ini mengajarkan kita bagaimana cara menjadi manusia seutuhnya. Dalam artian, pola pikir yang berupa mengerjakan hal baik dan meninggalkan hal buruk berdasarkan akal dan tanpa terpengaruh oleh keberadaaan peraturan, pola pikir demikian menjadikan kita manusia yang bebas, tidak diatur oleh unsur dari luar diri kita. Karena itu, sejatinya penerapan asas retroaktif wajar dikenakan pada mereka yang masih bergantung pada peraturan.

Asas Retroaktif dan Teori Imperatif Kategoris Kant

Gagasan Kant mengenai sumber kewajiban, yaitu akal, tidak jauh berbeda dengan pandangan Muktazilah.

Dalam imperatif kategoris, Kant menganggap tindakan yang “sesuai kewajiban” merupakan perlakuan tindakan yang bukan karena kecenderungan langsung untuk berbuat baik, melainkan demi maksud tersendiri.

Berbeda halnya dengan tindakan yang dilakukan “demi kewajiban”. Ia merupakan suatu tindakan yang tidak mengikuti hawa nafsu tetapi selalu melakukan demi kewajiban tersebut.

Kant memiliki pemahaman sendiri seputar kewajiban. Menurutnya, kewajiban adalah paham apriori akal budi praktis murni.

Apriori sendiri berarti pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman. Dengan kata lain, ia merupakan sebuah istilah yang dipakai untuk menjelaskan bahwa seseorang dapat berpikir dan memiliki asumsi tentang segala sesuatu, sebelum bertemu dengan pengalaman dan akhirnya mengambil kesimpulan.

Karena itu, menurut Kant, kewajiban tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Dalam bahasan asas retroaktif, realitas empiris yang dikemukakan Kant bisa dimaksudkan dengan hasil pengamatan terhadap undang-undang atau nas.

Kant telah menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional, manusia harus menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas.

Kebebasan menentukan pilihan secara rasional merupakan supremasi (kekuasaan tertinggi) ketentuan dan kondisi moralitas.

Alangkah baiknya seseorang bila ketika ia berkehendak melakukan sesuatu, ia tidak bergantung pada asas legalitas. Dalam artian, ia tidak menunggu dan melihat apakah yang dilakukannya itu termasuk pelanggaran atau tidak dalam undang-undang.

Tersebab bila tidak demikian, saat ia berkehendak melakukan tindakan kewajiban, ia tetap belum bisa membebaskan dirinya dari unsur di luar dirinya walaupun secara lahir tindakannya akan dinilai baik oleh masyarakat.

Berbeda halnya bila seseorang yang belum bisa terbebas dari ketergantungan pada undang-undang tersebut, ia berkehendak melakukan pelanggaran.

Maka tidak menutup kemungkinan akan terdapat lagi penerapan asas retroaktif di masa yang akan datang karena ia selalu mencari celah agar undang-undang tidak menjeratnya.

Kendati asas retroaktif ini bersifat pengecualian dan berfungsi sebagai alternatif untuk menindak pelanggaran berat (ia terkesan dikesampingkan dan dipandang sebelah mata urgensinya), tetapi dengan asas ini, kita dituntut untuk melakukan kewajiban berdasarkan akal dan naluri.

Dengan demikian, kita dapat bebas dan tidak disetir oleh unsur di luar diri kita.

Oleh: Firdaus Ulul Absor

Baca Juga

Tinggalkan komentar